Just
Love Me
Jarak antara aku dan kamu itulah
yang membuat pertemuan ini semakin manis.
Rasa penasaran keberadaamu. Rasa
marah atas kehilanganmu dan akhirnya rindu itu menumpuk. Terus menumpuk
meskipun ku abaikan.
Aku memahaminya sebagai posisi
tersakiti ketika menjalaninya. Tapi aku tak mampu menanam kebencian padamu,
meskipun kamu melukaiku.
Dan kini ketika kita harus
berjumpa. Saling menatap. Saling terkejut. Entahlah. Semuanya menguap begitu
saja.
Dan ketika bahumu memelukku. Aku
tahu. Semuanya membuat pertemuan begitu manis. Ada banyak hal yang perlu kita
jelaskan. Agar tak ada rasa marah lagi dia antara kita. Agar jika ketika
berpisahpun, tak menyisakan kenangan menyakitkan.
Tapi pada akhirnya ku tahu..
takdir selalu menuntun langkahmu. Membawamu ke tempat yang tepat.
Lost Contact. Sudah berapa bulan
ya? 3 bulan mungkin. Aku membuka malas inbox FB-ku. Tak ada notif darinya.
Kemana siy dia? Aku sign out dari FB. Melempar HP-ku ke Bantal. Kesal. Sudahlah
Rima, he was married now. Maybe.
Aku memeluk lututku. Menangis.ku
biarkan air shower yang dingin menyiram tubuhku. Biarkan Tuhan, biarkan seluruh
perasaan itu luruh. Aku baru saja melihat sebuah foto yang indah. Foto prewed Alvin
dan Sherly!!!
“Kita harus menikah sekarang..
kapan lagi?,”suaranya menggelegar dan mengintimidasiku.
Oh… Tuhan.. kenapa lagi dengan
Mr. Angry ini? Belum puas dia membunuh perasaanku. Berselingkuh dibelakangku
selama 3 tahun ini, menduakanku, menyakitiku secara fisik juga. Cukup!!! Aku
mempertahankannya karena aku tak tega melepasnya dengan seluruh hal yang telah
kami lalui bersama. Tapi kini aku telah lelah Tuhan. Aku sudah berselingkuh
juga dengan perasaanku. Karena Mr. Angry menanamkan rasa sakit fisik dan batin
yang luar biasa, semua rasaku telah menguap begitu saja. Aku justru merindukan
teman chatku yang juga kini telah meninggalkanku.
“Terserah,”Aku hanya mengucapkan
kata itu.
“Kamu itu..,”Sumpah serapah
keluar dari mulutnya. Aku hanya memejamkan mata. Menangis. Dan aku tahu,
tangisanku tak pernah meredam amarahnya.
Plakk.. tangannya ringan menampar
pipiku. Aku tergugu. Ku mohon Tuhan. Aku letih. Aku ingin mati.. oh.. apakah
sudah dijamin masuk surga? Gelap. Aku tahu tangisanku telah berhenti.
“Kamu itu wanita..,”Ahh sudahlah.
Ketika aku membuka mata, wajah Mr. Angry menyambutku. Khawatir dan marah.
Peduli apa dia mengkhawatirkanku.
Dia yang membuatku terluka atas seluruh sikapnya dan yah perilakunya.
“Maaf De”
“Tidak apa-apa”
“Aku ingin menikahimu”
KalRimat itu lagi.
Aku hanya menghembuskan nafas. Letih.
“Kamu belum siap? Ya sudahlah..”
Ahhhhh…… aku tak pernah bisa
menjadi wanita tega.
“Lakukan saja..,”Ujarku lirih.
Aku tahu aku harus mengorbankannya. Mengorbankan perasaan ini. Tak apa jika itu
tak menyakiti orang lain.
Aku memucat ketika melihat orang
yang baru saja kutabrak. Wajah ini, aku seperti mengenalnya.
“Kak Alvin..,”Refleks aku berkata
lirih.
“Rima?,”Matanya menatapku penuh
arti.
“Kakak disini?,”Tanyaku.
Dia mengangguk. “Kamu? Di Jakarta
ngapain?”
“Emh..”
Entahlah hari ini aku bolos
kerja. Kakiku membawa langkahku menyusuri
Jakarta. Tadinya aku mau melihat pantai, tapi entah mengapa aku justru
melangkah ke monas.
“Kakak juga ngapain?,”Aku balik
melempar Tanya.
“Aku habis antar teman,”Ujarnya.
Aku mengangguk. Kami hening
beberapa menit.
“Sendirian?,”Tanyanya.
Aku mengangguk.
“Mau ku temani jalan?,”Tanyanya.
“Tidak, terRima kasih,”Ujarku
tersenyum kecil. Sudahlah. Aku hampir menikah 1 bulan lagi. Aku sudah membunuh
perasaanku. Menguburnya dalam-dalam.
“Please.. just for one
chance..,”Ujarnya.
Akhirnya aku sudah duduk di
mobilnya. Di dashboard mobilnya ada boneka kecil sepasang beruang. Sherly dan Alvin,
aku menebak-nebak maksud boneka itu.
“De..,”panggil Alvin, karena aku
diam saja.
“Iya..,”Sahutku.
“Mau kemana?,”Tanyanya.
“Kemana saja.. kakak tahu kota
ini lebih daripada aku.. I am a tourist,”Ujarku.
“Sudah menikah?,”Tanyaku saat
kami berhenti makan siang.
Perjalanan di mobil sangat hening
sejak tadi. Entahlah, mungkin kami sama-sama sedang menahan perasaan.
Alvin hanya tersenyum. Aku
mengigit bibirku. Oke, aku memahaminya. Tak ada jawaban.
“Kamu?,”Dia bertanya.
“Sebulan lagi,”Aku menjawab
pendek.
Aku melihat tatapan sejenak
berubah. Entahlah apa artinya.
“Nggak dihabisin?,”Tanyanya
begitu melihat aku meletakkan sendok garpuku dan menyeruput minuman.
Aku menggeleng. Sudah 2 minggu
ini aku kehilangan selera makanku. 2 hari lalu aku ke dokter dan menemukan
berat badanku turun drastis. Tapi aku tak bisa, aku kelewat stress. Melihat
makanan enak pun tak mampu menggugah seleraku.
“Makanannya nggak enak?,”Tanya Alvin.
Aku menggeleng lagi,”Aku kenyang.
Itu saja”
Alvin bersikeras membayar
makanannya meskipun aku bilang aku saja.
Ketika di parkiran kepalaku
mendadak pusing. Aku berhenti sejenak menyentuh dahiku. Berdenyut-denyut.
Pandanganku mulai tak focus. Alvin menyadarinya. Menghampiriku.
“Kamu kenapa de?,”Tanyanya.
“Nggak apa-apa Kak,”Jawabku
pelan.
“Sungguh ?,”Tanyanya khawatir.
Aku mengangguk.
Alvin memapahku jalan ke mobil.
Tuhan… aku menyukai tangannya melingkar di bahuku. Aku bisa mencium aroma
parfumnya. Deg. Perasan apa ini Tuhan.
“Kita ke dokter dulu ya?,”kata Alvin
begitu di mobil.
“Hei.. aku kesini buat
travelling, bukan buat berobat kak,”Tawaku.
“Tapi kamu pucat,”Ujarnya.
“Please..,”Ujarku menatapnya.
Entah mengapa aku justru
terisak-isak di pelukannya sekarang. Kami akhirnya memutuskan ke Apartemen Alvin
dulu mengambil sesuatu yang entah katanya ketinggalan.
Begitu pintu apartemen dibuka,
aku melangkah masuk dan aku langsung jatuh terduduk.
Alvin langsung berjongkok
menanyakan kondisiku. Tapi aku malah menangis. Entahlah, air mataku seperti
keran bocor. Mengalir begitu saja.
“De.. kamu kenapa?,”Alvin
bertanya khawatir.
Aku tak bisa bicara. Hanya
terisak semakin keras. Tuhan… aku merasa sangat sesak. Letih. Aku perlu bicara.
Alvin membimbingku ke sofa. Memberiku
segelas air. Sedikit menenangkanku.
“What happen?,”Dia menatapku.
Aku menggeleng.
“De… please ku mohon katakan
saja… aku nggak tahan lihat kamu menangis,”Ujarnya. Kulihat sorot matanya
khawatir, memohon agar aku mengatakan sesuatu.
Aku mungkin harus mengatakannya
sekarang. Mungkin kami bahkan tidak akan pernah bertemu lagi.
“Aku kangen kakak,”Ujarku.
Dia terkejut pada
keterusteranganku.
Aku tersenyum lemah. “Jangan
kaget begitu”
“I miss you so much..,”Lirihnya.
“TerRima Kasih,”Ujarku. Air
mataku runtuh lagi.
Alvin memelukku lagi.
“Tell me.. semuanya..,”Ujarku di
sela tangisan
“Kamu mau aku ngomong apa
de?,”Tanyanya.
Katakan kakak nggak akan
ninggalin aku. Katakan pelukan ini untukku. Katakan kakak menyayangiku.
“Apa saja,”Itu yang terucap.
Jarak antara aku dan kamu itulah
yang membuat pertemuan ini semakin manis.
Rasa penasaran keberadaamu. Rasa
marah atas kehilanganmu dan akhirnya rindu itu menumpuk. Terus menumpuk
meskipun ku abaikan.
Aku memahaminya sebagai posisi
tersakiti ketika menjalaninya. Tapi aku tak mampu menanam kebencian padamu,
meskipun kamu melukaiku.
Dan kini ketika kita harus
berjumpa. Saling menatap. Saling terkejut. Entahlah. Semuanya menguap begitu
saja.
Dan ketika bahumu memelukku. Aku
tahu. Semuanya membuat pertemuan begitu manis. Ada banyak hal yang perlu kita
jelaskan. Agar tak ada rasa marah lagi dia antara kita. Agar jika ketika
berpisahpun, tak menyisakan kenangan menyakitkan.
“I love you de… please..
berhentilah menangis.. sungguh aku nggak ngerti kenapa kamu begini?”
“Jangan bilang cinta kak.. kakak
udah ada kak Sherly kan?”
Alvin diam saja. Tangannya tetap
memelukku. Dan aku seolah membeku tak melepas pelukannya.
Entah berapa menit aku terisak di
pelukannya. Aku melepas pelukannya. Tangan Alvin masih memegang bahuku. Mata
kami bertemu. Aku pasti jelek banget habis nangis. Aku menunduk. Tapi Alvin
mengangkat wajahku dan tidak terduga, dia mencium bibirku. Aku terkejut. Itu
selama 5 detik. Dan Alvin menatapku lemah kemudian.
“Maaf..,”lirihnya.
Aku menatap wajah yang terlelap
di sampingku. Lembut dan sangat pelan aku mencium keningnya kemudian
membetulkan letak selimutnya. Dia suamiku. Aku sangat berterRima kasih sebelum
tidur tadi dia memberiku cinta yang luar biasa, menenangkanku yang sedang kacau
Karena urusan pekerjaan. Aku berkaca-kaca mengingat Tuhan begitu baik
mengantarkan dia sebagai pasanganku, betapa semua yang kami lalui begitu berat.
Tapi Tuhan memang menuntun kemana seharusnya langkah kami. Karena takdir selalu
mengiringi kata pertemuan. Dan ketegaran, ketulusan, kepercayaan itulah teman
seperjalanan yang tak akan menyesatkan.
Aku ingat bagaRimana aku
berceloteh di mobil ketika 5 bulan lalu Alvin mengantarku pulang. Ku ungkapkan
semua rasa sakitku. Dokter memintaku untuk bicara pada seseorang agar aku
tenang. Dan aku memilihnya. Tak ada respon darinya ketika aku bercerita semua
rasa sakitku. Dia hanya diam, menyetir dengan lurus. Tak apa bagiku. Karena ini
akan menjadi pertemuan pertama dan
terakhir kami. Aku tak perlu takut apapun. Toh, aku akan meleburnya sebulan
lagi. Menghancurkan seluruh rasaku. Menghempaskannya.
Ketika aku hendak turun dari
mobil, ku ingat bagaRimana Alvin menarik tanganku. Menatapku penuh arti.
Matanya terluka Tuhan. Itu tatapanku. Aku selalu melihat tatapan ini ketika aku
menangis dan bercermin. Aku seperti melihat mataku sendiri.
“Jangan pergi,”Katanya pelan.
Aku mencoba menarik tanganku.
Tapi genggamannya tak melepaskanku. Aku menutup kembali pintu mobil. Biar ku
selesaikan semuanya sekarang.
“kak…terRima kasih sudah
mengantarku, sudah menemaniku, sudah mendengarkanku,”Ujarku menahan air mataku.
Meski ku tahu sudah menggantung di sudut mataku.
“Marry me..,”Ujarnya.
Apa-apaan ini? Kami baru copy
darat hari ini. Dia menciumku, sekarang melamarku, padahal aku dan dia
sama-sama sudah punya calon. Gila. Sungguh gila. Tapi keajaiban adalah kegilaan
bukan. Selalu diluar batas wajar nalar manusia.
“Sungguh de.. aku mungkin bisa
menabrakkan mobil ini dijalan kalau aku harus ingat kamu menangis seperti tadi,
aku akan gila kalau ingat betapa jahatnya aku sama kamu selama ini, kenapa aku
harus mengabaikan perasaan itu, padahal kita berdua ternyata menyimpan rasa
yang sama.. kenapa kita harus membunuh perasaan kita? ,”Alvin bicara dengan
nada bergetar. Aku melihat dia mencoba tenang tapi emosi mengusiknya. Aku yakin
dia juga ingin menangis. Aku luruh, menariknya dalam pelukanku. Reflex begitu
saja.
Kami berpelukan entah berapa lama. Dia
terlihat begitu frustasi ketika aku melepas pelukannya.
“Bisakah kita mengatasinya? Ini
bukan hanya tentang kita berdua kan.. dan Mr. Angry..,”Aku teringat wajah
murkanya.
“Karena Tuhan yang akan membantu
kita.. ini tidak akan mudah sayang..,”Dia menggengam tanganku.
Disini ku tahu Tuhan
menghentikannya. Menghentikan rasa sakit itu, Tuhan tahu aku akan gila dengan
semua ini. Hanya Alvin yang mampu membuatku berbagi.
Berat sekali melewati semua
rintangan untuk sampai hari ini. Diomeli, di caci maki. Tapi kami tahu, itu tak
sebanding dengan rasa sakit kami ketika kami tak memperjuangkannya.
“Sayang..”
Aku menoleh, terhenti dari
lamunanku. Alvin, ya dia suamiku terbangun.
“hmm..”
“Kok kamu nggak tidur?,”Tanyanya.
Aku tersenyum lembut dan
berbaring lembut di pelukannya. Tak lama aku mendengar deru nafasnya yang
lembut. I love you so much, my hubby.
*****END*****
AKU BERHARAP, KISAHKU AKAN BERAKHIR BAHAGIA SEPERTI INI
IMA
CIKARANG, 27/5/2015,12:08 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar