Kamis, 30 Juli 2015

CERPEN : JUST LOVE ME




Just Love Me
Jarak antara aku dan kamu itulah yang membuat pertemuan ini semakin manis.
Rasa penasaran keberadaamu. Rasa marah atas kehilanganmu dan akhirnya rindu itu menumpuk. Terus menumpuk meskipun ku abaikan.
Aku memahaminya sebagai posisi tersakiti ketika menjalaninya. Tapi aku tak mampu menanam kebencian padamu, meskipun kamu melukaiku.
Dan kini ketika kita harus berjumpa. Saling menatap. Saling terkejut. Entahlah. Semuanya menguap begitu saja.
Dan ketika bahumu memelukku. Aku tahu. Semuanya membuat pertemuan begitu manis. Ada banyak hal yang perlu kita jelaskan. Agar tak ada rasa marah lagi dia antara kita. Agar jika ketika berpisahpun, tak menyisakan kenangan menyakitkan.

Tapi pada akhirnya ku tahu.. takdir selalu menuntun langkahmu. Membawamu ke tempat yang tepat.


Lost Contact. Sudah berapa bulan ya? 3 bulan mungkin. Aku membuka malas inbox FB-ku. Tak ada notif darinya. Kemana siy dia? Aku sign out dari FB. Melempar HP-ku ke Bantal. Kesal. Sudahlah Rima, he was married now. Maybe.

Aku memeluk lututku. Menangis.ku biarkan air shower yang dingin menyiram tubuhku. Biarkan Tuhan, biarkan seluruh perasaan itu luruh. Aku baru saja melihat sebuah foto yang indah. Foto prewed Alvin dan Sherly!!!

“Kita harus menikah sekarang.. kapan lagi?,”suaranya menggelegar dan mengintimidasiku.
Oh… Tuhan.. kenapa lagi dengan Mr. Angry ini? Belum puas dia membunuh perasaanku. Berselingkuh dibelakangku selama 3 tahun ini, menduakanku, menyakitiku secara fisik juga. Cukup!!! Aku mempertahankannya karena aku tak tega melepasnya dengan seluruh hal yang telah kami lalui bersama. Tapi kini aku telah lelah Tuhan. Aku sudah berselingkuh juga dengan perasaanku. Karena Mr. Angry menanamkan rasa sakit fisik dan batin yang luar biasa, semua rasaku telah menguap begitu saja. Aku justru merindukan teman chatku yang juga kini telah meninggalkanku.
“Terserah,”Aku hanya mengucapkan kata itu.
“Kamu itu..,”Sumpah serapah keluar dari mulutnya. Aku hanya memejamkan mata. Menangis. Dan aku tahu, tangisanku tak pernah meredam amarahnya.
Plakk.. tangannya ringan menampar pipiku. Aku tergugu. Ku mohon Tuhan. Aku letih. Aku ingin mati.. oh.. apakah sudah dijamin masuk surga? Gelap. Aku tahu tangisanku telah berhenti.
“Kamu itu wanita..,”Ahh sudahlah. Ketika aku membuka mata, wajah Mr. Angry menyambutku. Khawatir dan marah.
Peduli apa dia mengkhawatirkanku. Dia yang membuatku terluka atas seluruh sikapnya dan yah perilakunya.
“Maaf De”
“Tidak apa-apa”
“Aku ingin menikahimu”
KalRimat itu lagi.
Aku hanya menghembuskan nafas. Letih.
“Kamu belum siap? Ya sudahlah..”
Ahhhhh…… aku tak pernah bisa menjadi wanita tega.
“Lakukan saja..,”Ujarku lirih. Aku tahu aku harus mengorbankannya. Mengorbankan perasaan ini. Tak apa jika itu tak menyakiti orang lain.


Aku memucat ketika melihat orang yang baru saja kutabrak. Wajah ini, aku seperti mengenalnya.
“Kak Alvin..,”Refleks aku berkata lirih.
“Rima?,”Matanya menatapku penuh arti.
“Kakak disini?,”Tanyaku.
Dia mengangguk. “Kamu? Di Jakarta ngapain?”
“Emh..”
Entahlah hari ini aku bolos kerja. Kakiku membawa langkahku menyusuri  Jakarta. Tadinya aku mau melihat pantai, tapi entah mengapa aku justru melangkah ke monas.
“Kakak juga ngapain?,”Aku balik melempar Tanya.
“Aku habis antar teman,”Ujarnya.
Aku mengangguk. Kami hening beberapa menit.
“Sendirian?,”Tanyanya.
Aku mengangguk.
“Mau ku temani jalan?,”Tanyanya.
“Tidak, terRima kasih,”Ujarku tersenyum kecil. Sudahlah. Aku hampir menikah 1 bulan lagi. Aku sudah membunuh perasaanku. Menguburnya dalam-dalam.
“Please.. just for one chance..,”Ujarnya.

Akhirnya aku sudah duduk di mobilnya. Di dashboard mobilnya ada boneka kecil sepasang beruang. Sherly dan Alvin, aku menebak-nebak maksud boneka itu.
“De..,”panggil Alvin, karena aku diam saja.
“Iya..,”Sahutku.
“Mau kemana?,”Tanyanya.
“Kemana saja.. kakak tahu kota ini lebih daripada aku.. I am a tourist,”Ujarku.

“Sudah menikah?,”Tanyaku saat kami berhenti makan siang.
Perjalanan di mobil sangat hening sejak tadi. Entahlah, mungkin kami sama-sama sedang menahan perasaan.
Alvin hanya tersenyum. Aku mengigit bibirku. Oke, aku memahaminya. Tak ada jawaban.
“Kamu?,”Dia bertanya.
“Sebulan lagi,”Aku menjawab pendek.
Aku melihat tatapan sejenak berubah. Entahlah apa artinya.
“Nggak dihabisin?,”Tanyanya begitu melihat aku meletakkan sendok garpuku dan menyeruput minuman.
Aku menggeleng. Sudah 2 minggu ini aku kehilangan selera makanku. 2 hari lalu aku ke dokter dan menemukan berat badanku turun drastis. Tapi aku tak bisa, aku kelewat stress. Melihat makanan enak pun tak mampu menggugah seleraku.
 “Makanannya nggak enak?,”Tanya Alvin.
Aku menggeleng lagi,”Aku kenyang. Itu saja”
Alvin bersikeras membayar makanannya meskipun aku bilang aku saja.
Ketika di parkiran kepalaku mendadak pusing. Aku berhenti sejenak menyentuh dahiku. Berdenyut-denyut. Pandanganku mulai tak focus. Alvin menyadarinya. Menghampiriku.
“Kamu kenapa de?,”Tanyanya.
“Nggak apa-apa Kak,”Jawabku pelan.
“Sungguh ?,”Tanyanya khawatir.
Aku mengangguk.
Alvin memapahku jalan ke mobil. Tuhan… aku menyukai tangannya melingkar di bahuku. Aku bisa mencium aroma parfumnya. Deg. Perasan apa ini Tuhan.
“Kita ke dokter dulu ya?,”kata Alvin begitu di mobil.
“Hei.. aku kesini buat travelling, bukan buat berobat kak,”Tawaku.
“Tapi kamu pucat,”Ujarnya.
“Please..,”Ujarku menatapnya.

Entah mengapa aku justru terisak-isak di pelukannya sekarang. Kami akhirnya memutuskan ke Apartemen Alvin dulu mengambil sesuatu yang entah katanya ketinggalan.
Begitu pintu apartemen dibuka, aku melangkah masuk dan aku langsung jatuh terduduk.
Alvin langsung berjongkok menanyakan kondisiku. Tapi aku malah menangis. Entahlah, air mataku seperti keran bocor. Mengalir begitu saja.
“De.. kamu kenapa?,”Alvin bertanya khawatir.
Aku tak bisa bicara. Hanya terisak semakin keras. Tuhan… aku merasa sangat sesak. Letih. Aku perlu bicara.
Alvin membimbingku ke sofa. Memberiku segelas air. Sedikit menenangkanku.

“What happen?,”Dia menatapku.
Aku menggeleng.
“De… please ku mohon katakan saja… aku nggak tahan lihat kamu menangis,”Ujarnya. Kulihat sorot matanya khawatir, memohon agar aku mengatakan sesuatu.
Aku mungkin harus mengatakannya sekarang. Mungkin kami bahkan tidak akan pernah bertemu lagi.
“Aku kangen kakak,”Ujarku.
Dia terkejut pada keterusteranganku.
Aku tersenyum lemah. “Jangan kaget begitu”
“I miss you so much..,”Lirihnya.
“TerRima Kasih,”Ujarku. Air mataku runtuh lagi.
Alvin memelukku lagi.
“Tell me.. semuanya..,”Ujarku di sela tangisan
“Kamu mau aku ngomong apa de?,”Tanyanya.
Katakan kakak nggak akan ninggalin aku. Katakan pelukan ini untukku. Katakan kakak menyayangiku.
“Apa saja,”Itu yang terucap.
Jarak antara aku dan kamu itulah yang membuat pertemuan ini semakin manis.
Rasa penasaran keberadaamu. Rasa marah atas kehilanganmu dan akhirnya rindu itu menumpuk. Terus menumpuk meskipun ku abaikan.
Aku memahaminya sebagai posisi tersakiti ketika menjalaninya. Tapi aku tak mampu menanam kebencian padamu, meskipun kamu melukaiku.
Dan kini ketika kita harus berjumpa. Saling menatap. Saling terkejut. Entahlah. Semuanya menguap begitu saja.
Dan ketika bahumu memelukku. Aku tahu. Semuanya membuat pertemuan begitu manis. Ada banyak hal yang perlu kita jelaskan. Agar tak ada rasa marah lagi dia antara kita. Agar jika ketika berpisahpun, tak menyisakan kenangan menyakitkan.
“I love you de… please.. berhentilah menangis.. sungguh aku nggak ngerti kenapa kamu begini?”
“Jangan bilang cinta kak.. kakak udah ada kak Sherly kan?”
Alvin diam saja. Tangannya tetap memelukku. Dan aku seolah membeku tak melepas pelukannya.

Entah berapa menit aku terisak di pelukannya. Aku melepas pelukannya. Tangan Alvin masih memegang bahuku. Mata kami bertemu. Aku pasti jelek banget habis nangis. Aku menunduk. Tapi Alvin mengangkat wajahku dan tidak terduga, dia mencium bibirku. Aku terkejut. Itu selama 5 detik. Dan Alvin menatapku lemah kemudian.
“Maaf..,”lirihnya.

Aku menatap wajah yang terlelap di sampingku. Lembut dan sangat pelan aku mencium keningnya kemudian membetulkan letak selimutnya. Dia suamiku. Aku sangat berterRima kasih sebelum tidur tadi dia memberiku cinta yang luar biasa, menenangkanku yang sedang kacau Karena urusan pekerjaan. Aku berkaca-kaca mengingat Tuhan begitu baik mengantarkan dia sebagai pasanganku, betapa semua yang kami lalui begitu berat. Tapi Tuhan memang menuntun kemana seharusnya langkah kami. Karena takdir selalu mengiringi kata pertemuan. Dan ketegaran, ketulusan, kepercayaan itulah teman seperjalanan yang tak akan menyesatkan.
Aku ingat bagaRimana aku berceloteh di mobil ketika 5 bulan lalu Alvin mengantarku pulang. Ku ungkapkan semua rasa sakitku. Dokter memintaku untuk bicara pada seseorang agar aku tenang. Dan aku memilihnya. Tak ada respon darinya ketika aku bercerita semua rasa sakitku. Dia hanya diam, menyetir dengan lurus. Tak apa bagiku. Karena ini akan menjadi pertemuan pertama  dan terakhir kami. Aku tak perlu takut apapun. Toh, aku akan meleburnya sebulan lagi. Menghancurkan seluruh rasaku. Menghempaskannya.
Ketika aku hendak turun dari mobil, ku ingat bagaRimana Alvin menarik tanganku. Menatapku penuh arti. Matanya terluka Tuhan. Itu tatapanku. Aku selalu melihat tatapan ini ketika aku menangis dan bercermin. Aku seperti melihat mataku sendiri.
“Jangan pergi,”Katanya pelan.
Aku mencoba menarik tanganku. Tapi genggamannya tak melepaskanku. Aku menutup kembali pintu mobil. Biar ku selesaikan semuanya sekarang.
“kak…terRima kasih sudah mengantarku, sudah menemaniku, sudah mendengarkanku,”Ujarku menahan air mataku. Meski ku tahu sudah menggantung di sudut mataku.
“Marry me..,”Ujarnya.
Apa-apaan ini? Kami baru copy darat hari ini. Dia menciumku, sekarang melamarku, padahal aku dan dia sama-sama sudah punya calon. Gila. Sungguh gila. Tapi keajaiban adalah kegilaan bukan. Selalu diluar batas wajar nalar manusia.
“Sungguh de.. aku mungkin bisa menabrakkan mobil ini dijalan kalau aku harus ingat kamu menangis seperti tadi, aku akan gila kalau ingat betapa jahatnya aku sama kamu selama ini, kenapa aku harus mengabaikan perasaan itu, padahal kita berdua ternyata menyimpan rasa yang sama.. kenapa kita harus membunuh perasaan kita? ,”Alvin bicara dengan nada bergetar. Aku melihat dia mencoba tenang tapi emosi mengusiknya. Aku yakin dia juga ingin menangis. Aku luruh, menariknya dalam pelukanku. Reflex begitu saja.
 Kami berpelukan entah berapa lama. Dia terlihat begitu frustasi ketika aku melepas pelukannya.
“Bisakah kita mengatasinya? Ini bukan hanya tentang kita berdua kan.. dan Mr. Angry..,”Aku teringat wajah murkanya.
“Karena Tuhan yang akan membantu kita.. ini tidak akan mudah sayang..,”Dia menggengam tanganku.
Disini ku tahu Tuhan menghentikannya. Menghentikan rasa sakit itu, Tuhan tahu aku akan gila dengan semua ini. Hanya Alvin yang mampu membuatku berbagi.
Berat sekali melewati semua rintangan untuk sampai hari ini. Diomeli, di caci maki. Tapi kami tahu, itu tak sebanding dengan rasa sakit kami ketika kami tak memperjuangkannya.
“Sayang..”
Aku menoleh, terhenti dari lamunanku. Alvin, ya dia suamiku terbangun.
“hmm..”
“Kok kamu nggak tidur?,”Tanyanya.
Aku tersenyum lembut dan berbaring lembut di pelukannya. Tak lama aku mendengar deru nafasnya yang lembut. I love you so much, my hubby.


*****END*****

AKU BERHARAP, KISAHKU AKAN BERAKHIR BAHAGIA SEPERTI INI

IMA
CIKARANG, 27/5/2015,12:08 WIB


Tidak ada komentar:

Posting Komentar